Wong
Cilik
Wong
cilik adalah rakyat kecil yang senantiasa teraniaya. Sesungguhnya rakyat kecil
ini semula mandiri dan bebas. Mereka memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara
mereka sendiri. Yang tani, tani; yang nelayan, nelayan; yang peramu hutan,
peramu hutan; yang kerja kasar, kerja kasar. Setelah muncul wong gede atau
penguasa-penguasa besar, kemandirian dan kebebasan mereka terbebani kesadaran
penguasa.
Gajah-gajah
bertarung, pelanduk mati di tengah-tengahnya. Itulah nasib wong cilik kemudian,
dari dulu sampai sekarang ini, di Indonesia. Wong cilik adalah korban. Wong
cilik tidak berdaya di kancah pertarungan para penguasa mereka.
Para
penguasa menyadari pentingnya wong cilik, karena tanpa mereka para penguasa
tidak akan pernah ada. Ada adalah rakyat. Dari atas pundak wong cilik ini para
penguasa menjejakkan kaki-kaki mereka untuk melesat ke atas kekuasaan. Dan,
sesampai di atas, para penguasa menganiayanya demi kepentingan sendiri.
Tanpa
penguasa-penguasa itu, wong cilik dapat hidup mengatur dirinya. Ribuan tahun
sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di Indonesia, wong cilik ini hidup damai,
bebas dan mandiri dengan alam lingkungannya. Mereka tidak membutuhkan bantuan
apa pun dari luar dirinya. Sampai sekarang pun wong cilik ini tetap demikian.
Mereka
berjuang untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka kenal betul lingkungan
hidupnya. Manusia adalah tanahnya. Orang di luar desanya tak akan pernah
mengenal lingkungan hidupnya sebaik mereka sendiri. Campur tangan luar tentu
akan mendatangkan masalah karena kesadaran lingkungan hidup lain mulai memasuki
lingkungan hidup yang amat dikenalnya.
Masa
organisasi-organisasi besar kekuasaan memasuki kepulauan Nusantara ini.
Ambisinya adalah mengorganisasi kebebasan dan kemandirian wong cilik agar lebih
makmur dan sejahtera. Praksisnya adalah demi kesejahteraan, kemakmuran, dan
kedamaian rezim yang berkuasa. Wong cilik tidak mandiri dan bebas lagi. Aturan
demi aturan dari pusat kekuasaan mulai mengikat rakyat. Kebebasan dan
kemandirian mulai hilang.
Gembala
harus kenal ternak
Jadi,
apa jasa wong gede itu? Apa kerja mereka itu? Mengatur, membelenggu,
menyiasati, memanfaatkan, mengelabui wong cilik? Untuk apa diatur? Demi
kebebasan dan kemandirian wong cilik agar tetap hidup damai dalam kecukupan mereka
sendiri? Kalau hanya demikian, wong cilik lebih tahu menemukan jalannya
sendiri. Apa pengetahuan mereka tentang lingkungan hidup kami ini? Wong gede
itu cuma bikin repot saja.
Orang
tidak bisa memimpin orang lain tanpa mengenal benar orang yang akan
dipimpinnya. Gembala harus mengenal ternak-ternaknya. Akhirnya, ternak- ternak
akan mengenal gembalanya, dan merupakan bagian dari kebebasan dan kemandirian
mereka. Wong-wong gede itu belum pernah sekalipun mengenal kami dan mendatangi
lingkungan kami hidup. Bagaimana mereka akan dapat membimbing dan menolong kami
meningkatkan mutu hidup ini? Siapakah mereka ini? Tuhan? Bagaimana wong-wong
gede itu bisa ikut campur mengatur kami ini? Kakek buyut dan nenek moyang kami
telah mewariskan tanah-tanah ini kepada kami agar kami tetap terus hidup. Kami
lebih tahu bagaimana kami mengolah lingkungan hidup kami sendiri. Tidak akan
ada orang luar yang akan mampu menolong kami tanpa melebur terlebih dahulu
dengan kami di sini.
Makna
dunia ini adalah lingkungan kecil di mana kami dilahirkan, dibesarkan, hidup,
dan mudah-mudahan dikuburkan di sini. Wong-wong gede itu juga mempunyai sejarah
lingkungan hidupnya sendiri. Mengapa wong-wong gede itu merasa lebih tahu hidup
kami di sini? Bebaskan kami untuk berdiri di atas kaki kami sendiri.
Indonesia
adalah kampung kami ini. Kami tidak pernah melihat Indonesia yang lain, kecuali
lewat virtual televisi dan koran. Realitas Indonesia adalah realitas kampung
saya ini. Dan, Indonesia kami ini tetap sengsara. Raja-raja zaman dulu juga
cuek-cuek saja pada kami di sini. Tahu-tahu kami harus membayar retribusi ini
itu kepada orang-orang yang tak kami kenal. Untuk apa kami tak tahu, karena
jalan desa tetap bobrok, harga padi kami jatuh, tetangga busung lapar, dan
pupuk sulit dicari.
Jangan
mengindonesiakan kami seperti dahulu nenek moyang kami sebentar dimasukkan
dalam kerajaan ini lain waktu masuk kerajaan itu. Indonesia, kerajaan, adalah
dunia wong gede. Mereka punya urusan sendiri, lingkungan hidup sendiri. Dunia
mereka bukan dunia kami. Indonesia adalah urusan wong-wong gede. Tetapi, kalau
mereka mau ikut campur mengurusi kami, datanglah kemari, kenalilah lingkungan
hidup kami, bagaimana cara hidup kami selama ini. Kalau kita sudah saling
mengenal, Indonesia Anda itu dapat kami pahami. Orang buta tidak mungkin
memimpin orang-orang yang melihat dengan mata kepala sendiri.
Kearifan
lokal
Wong
cilik ini bermacam ragam seperti bintang di langit. Jumlah mereka jauh lebih
banyak dari dunia wong gede. Wong cilik ini sering dinilai bodoh, primitif,
ketinggalan zaman, penuh takhayul, mistik, irasional, dan sebutan melecehkan
yang lain. Tetapi, siapakah mereka yang mengaku dirinya telah maju, terpelajar,
rasional, modern, trendi, dan sanjungan-sanjungan lain? Apakah mereka lebih
arif?
Apakah
kearifan dimaksudkan sebagai cara berpikir baik yang efisien untuk mengatasi
dan mendamaikan lingkungan di mana manusia hidup? Bukankah kearifan mereka
selama ini hanya membuat wong cilik sengsara saja?
Ketidakstabilan
Indonesia selama ini akibat gajah bertarung lawan gajah, dan pelanduk tiap hari
harus dibawa ke kuburan. Sesungguhnya, tidak ada yang peduli pada wong cilik.
Padahal, wong gede ini "merebut" kemandirian dan kebebasan wong
cilik, sejak dulu begitu.
Wong
cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini
dengan tenang dan kecukupan. Mereka tak segan-segan bekerja keras. Mereka
terbiasa menghadapi kekurangan, namun selalu punya mekanisme jalan keluarnya.
Itulah kearifan lokal itu. Tugas wong gede adalah memberikan kebebasan,
kemandirian, dan ketenangan hidup wong cilik. Syukur bisa memberi kemudahan.
Jakob
Sumardjo
Esais


0 komentar:
Posting Komentar
Blog ini tidak akan sukses tanpa komentar sahabat-sahabat!