Rabu, 14 November 2012

Wong Cilik

0

Wong Cilik
Jakob Sumardjo  
Wong cilik adalah rakyat kecil yang senantiasa teraniaya. Sesungguhnya rakyat kecil ini semula mandiri dan bebas. Mereka memenuhi kebutuhan sendiri dengan cara mereka sendiri. Yang tani, tani; yang nelayan, nelayan; yang peramu hutan, peramu hutan; yang kerja kasar, kerja kasar. Setelah muncul wong gede atau penguasa-penguasa besar, kemandirian dan kebebasan mereka terbebani kesadaran penguasa.
Gajah-gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengahnya. Itulah nasib wong cilik kemudian, dari dulu sampai sekarang ini, di Indonesia. Wong cilik adalah korban. Wong cilik tidak berdaya di kancah pertarungan para penguasa mereka.
Para penguasa menyadari pentingnya wong cilik, karena tanpa mereka para penguasa tidak akan pernah ada. Ada adalah rakyat. Dari atas pundak wong cilik ini para penguasa menjejakkan kaki-kaki mereka untuk melesat ke atas kekuasaan. Dan, sesampai di atas, para penguasa menganiayanya demi kepentingan sendiri.
Tanpa penguasa-penguasa itu, wong cilik dapat hidup mengatur dirinya. Ribuan tahun sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di Indonesia, wong cilik ini hidup damai, bebas dan mandiri dengan alam lingkungannya. Mereka tidak membutuhkan bantuan apa pun dari luar dirinya. Sampai sekarang pun wong cilik ini tetap demikian.
Mereka berjuang untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka kenal betul lingkungan hidupnya. Manusia adalah tanahnya. Orang di luar desanya tak akan pernah mengenal lingkungan hidupnya sebaik mereka sendiri. Campur tangan luar tentu akan mendatangkan masalah karena kesadaran lingkungan hidup lain mulai memasuki lingkungan hidup yang amat dikenalnya.
Masa organisasi-organisasi besar kekuasaan memasuki kepulauan Nusantara ini. Ambisinya adalah mengorganisasi kebebasan dan kemandirian wong cilik agar lebih makmur dan sejahtera. Praksisnya adalah demi kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian rezim yang berkuasa. Wong cilik tidak mandiri dan bebas lagi. Aturan demi aturan dari pusat kekuasaan mulai mengikat rakyat. Kebebasan dan kemandirian mulai hilang. 

Gembala harus kenal ternak
Jadi, apa jasa wong gede itu? Apa kerja mereka itu? Mengatur, membelenggu, menyiasati, memanfaatkan, mengelabui wong cilik? Untuk apa diatur? Demi kebebasan dan kemandirian wong cilik agar tetap hidup damai dalam kecukupan mereka sendiri? Kalau hanya demikian, wong cilik lebih tahu menemukan jalannya sendiri. Apa pengetahuan mereka tentang lingkungan hidup kami ini? Wong gede itu cuma bikin repot saja.
Orang tidak bisa memimpin orang lain tanpa mengenal benar orang yang akan dipimpinnya. Gembala harus mengenal ternak-ternaknya. Akhirnya, ternak- ternak akan mengenal gembalanya, dan merupakan bagian dari kebebasan dan kemandirian mereka. Wong-wong gede itu belum pernah sekalipun mengenal kami dan mendatangi lingkungan kami hidup. Bagaimana mereka akan dapat membimbing dan menolong kami meningkatkan mutu hidup ini? Siapakah mereka ini? Tuhan? Bagaimana wong-wong gede itu bisa ikut campur mengatur kami ini? Kakek buyut dan nenek moyang kami telah mewariskan tanah-tanah ini kepada kami agar kami tetap terus hidup. Kami lebih tahu bagaimana kami mengolah lingkungan hidup kami sendiri. Tidak akan ada orang luar yang akan mampu menolong kami tanpa melebur terlebih dahulu dengan kami di sini.
Makna dunia ini adalah lingkungan kecil di mana kami dilahirkan, dibesarkan, hidup, dan mudah-mudahan dikuburkan di sini. Wong-wong gede itu juga mempunyai sejarah lingkungan hidupnya sendiri. Mengapa wong-wong gede itu merasa lebih tahu hidup kami di sini? Bebaskan kami untuk berdiri di atas kaki kami sendiri.
Indonesia adalah kampung kami ini. Kami tidak pernah melihat Indonesia yang lain, kecuali lewat virtual televisi dan koran. Realitas Indonesia adalah realitas kampung saya ini. Dan, Indonesia kami ini tetap sengsara. Raja-raja zaman dulu juga cuek-cuek saja pada kami di sini. Tahu-tahu kami harus membayar retribusi ini itu kepada orang-orang yang tak kami kenal. Untuk apa kami tak tahu, karena jalan desa tetap bobrok, harga padi kami jatuh, tetangga busung lapar, dan pupuk sulit dicari.
Jangan mengindonesiakan kami seperti dahulu nenek moyang kami sebentar dimasukkan dalam kerajaan ini lain waktu masuk kerajaan itu. Indonesia, kerajaan, adalah dunia wong gede. Mereka punya urusan sendiri, lingkungan hidup sendiri. Dunia mereka bukan dunia kami. Indonesia adalah urusan wong-wong gede. Tetapi, kalau mereka mau ikut campur mengurusi kami, datanglah kemari, kenalilah lingkungan hidup kami, bagaimana cara hidup kami selama ini. Kalau kita sudah saling mengenal, Indonesia Anda itu dapat kami pahami. Orang buta tidak mungkin memimpin orang-orang yang melihat dengan mata kepala sendiri. 

Kearifan lokal
Wong cilik ini bermacam ragam seperti bintang di langit. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari dunia wong gede. Wong cilik ini sering dinilai bodoh, primitif, ketinggalan zaman, penuh takhayul, mistik, irasional, dan sebutan melecehkan yang lain. Tetapi, siapakah mereka yang mengaku dirinya telah maju, terpelajar, rasional, modern, trendi, dan sanjungan-sanjungan lain? Apakah mereka lebih arif?
Apakah kearifan dimaksudkan sebagai cara berpikir baik yang efisien untuk mengatasi dan mendamaikan lingkungan di mana manusia hidup? Bukankah kearifan mereka selama ini hanya membuat wong cilik sengsara saja?
Ketidakstabilan Indonesia selama ini akibat gajah bertarung lawan gajah, dan pelanduk tiap hari harus dibawa ke kuburan. Sesungguhnya, tidak ada yang peduli pada wong cilik. Padahal, wong gede ini "merebut" kemandirian dan kebebasan wong cilik, sejak dulu begitu.
Wong cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini dengan tenang dan kecukupan. Mereka tak segan-segan bekerja keras. Mereka terbiasa menghadapi kekurangan, namun selalu punya mekanisme jalan keluarnya. Itulah kearifan lokal itu. Tugas wong gede adalah memberikan kebebasan, kemandirian, dan ketenangan hidup wong cilik. Syukur bisa memberi kemudahan. 

Jakob Sumardjo Esais

0 komentar:

Posting Komentar

Blog ini tidak akan sukses tanpa komentar sahabat-sahabat!