BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pers
Pers berasal dari kata
pressa (bahasa latin) / press (Inggris) yang artinya mesin ccetak. Kemudian
pengertian itu berkembang menjadi alat – alat mencetak dari suatu ide untuk
disebarkan lebih lanjut kepada masyarakat. kemudian pengertian itu berkembang
menjadi media yang menyebarkan ide / pesan kepada masyarakat, yang dicetak
dengan alat – alat percetakan sebelumnya. Media yang dimaksud adalah buku,
surat kabar, majalah, buletin, borsur / pamflet yang isinya mengandung ide /
pemberitahuan kepada masyarakat. (Arifin,2011:123).
Pers mengandung 2 arti,
arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media
cetak berkala (surat kabar, tabloid, majalah). Sedangkan dalam arti luas, pers
bukan hanya menunjuk kepada media cetak berkala, melainkan juga mencakup media
elektronik (audio dan audiovisual) sepeti radio, televisi, film dan media online internet. (Sumadiria, 2004:107)
Sedangkan menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Beberapa
ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian pers.
·
Wilbur
Schramm, dan kawan - kawan dalam bukunya “Four Theories of the Press”
mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the
libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory.
Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru
dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di
tengah-tengah masyarakat.
·
Sementara
Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996
mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat
dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang
bersamaan.
·
Menurut
Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat
umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat
para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan
belanda[1]
B. Dinamika
dan Romantika Pers Indonesia
Perkembangan pers di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pers Belanda pada zama dahulu. Mulai dari kedatangan Belanda ke
Indonesia dan memperkenalkan percetakan suratkabar, sehingga munculah
penerbit-penerbit surat kabar. Hingga kebijakan-kebijakan Belanda (sebagai
pemegang otoritas) terhadap kinerja dan kebebasan pers Indonesia.Selain itu,
adanya penerbit-penerbit dan percetakan-percetakan yang dimiliki orang Tionghoa
juga mempengaruhi perkembangan pers di Indonesia. Meskipun tidak lama.
Keadaan itu merupakan petunjuk awal munculnya
unsur-unsur perubahan di Pulau Jawa. Perubahan seperti “modernitas” sistem
informasi yang memengaruhi kebudayaan masyarakat. Hal itu pula berkaitan dengan
perkembangan ekonomi, terutama perdagangan yang semakin memerlukan konsumen dan
nasabah. Saat itu, pers memiliki multifungsi, sebagai pemberi informasi, alat
propaganda pemerintah, sekaligus alat ekonomi.
Awal mula pembentukan sistem pers yang diusung Belanda
adalah sebuah sistem otoritarian. Karena
secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak
pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana.
·
Pertama,
sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif,
dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah.
·
Kedua, dalam
bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem
agunan, dan lisensi atau rekomendasi.
·
Ketiga,
sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta
modal minimal pendirian sebuah perusahaan media.
·
Keempat,
sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan
sensor.
Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang tahun 1906-1942
ini terbagi ke dalam lima periode. Setiap periode menjelaskan setiap kebijakan
yang dikeluarkan berikut latar belakang yang menyertai dan mendasarinya.
·
Pertama,
periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan
penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan. Pemerintah kolonial juga
mendukung pertumbuhan pers yang dapat memajukan penduduk pribumi.Pada masa ini
setiap orang bebas menerbitkan media cetak. Surat izin bahkan dapat diurus
belakangan, selambat-lambatnya 24 jam setelah terbit. Pemerintah juga
memosisikan sebagai lembaga pengawas bukan lembaga sensor. Untuk mengawasi
pers, gubernur jenderal memberikan penerangan dan memberikan subsidi modal.
·
Kedua,
periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers
bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk
mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik. Apalagi setelah
terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), koran-koran sangat bebas memuat
perdebatan-perdebatan para politisi.
·
Ketiga,
periode 1918-1927. Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi
pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal
seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan
berdirinya organisasi-organisai kemasyarakatan dan politik yang radikal pula.
Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia di sejumlah daerah yang
berhasil ditumpas tentara kolonial.
Pada periode ini pemerintah kolonial mulai
memberlakukan KUHP. Di dalamnya terdapat ranjau-ranjau hukum pidana pers. Yang
paling seram adalah pasal 154-157 tentang delik penyebaran kebencian (haatzaai
artikelen), serta pasal 207-208 tentang delik terhadap kekuasaan negara.
Satu tahun kemudian, puluhan wartawan dijebloskan ke penjara, karena menulis
berita yang tak sesuai dengan selera penguasa.
·
Keempat,
periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers.
Pemerintah tanpa melibatkan pengadilan dapat melarang sementara terbitan
berkala setelah memberikan peringatan. Dalam aturan ini, gubernur jenderal bisa
membredel suratkabar dengan dalih »mengganggu ketertiban umum ».
Masa pembredelan selama-lamanya delapan hari, dan jika masih bandel
diperpanjang 30 hari.
·
Kelima,
periode 1931-1942. Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang
ditandai dengan pembredelan sejumlah media. Pada masa ini penguasa kolonial
sudah berhasil menguasai kebijakan pengendalian pers secara administratif,
yuridis, sosial, dan ekonomis. Kebijakan pers pemerintah kolonial berakhir
setelah Jepang tiba di Indonesia pada 1942.
Pada 1942 ketika Jepang hadir, pers Indonesia
mengalami perubahan sistem. Pers Indonesia menjadi jauh lebih maju ketimbang
sistem pers konvensional ala Belanda. Pada zaman ini, Indonesia diajak untuk
mengemban suatu pendidikan pers. Insan pers adalah insan yang terlatih.
Terlatih dalam menulis berita, dan insan pers yang siap menjadi alat propaganda
perang Jepang.Perubahan sistem yang mencolok adalah tidak diizinkannya
suratkabar selain milik Jepang beredar. Ini menandakan keleluasaan pers semakin
sempit, bahkan terhimpit. Pada zaman Belanda, Belanda membebaskan suratkabar
tionghoa, dan lain sebagainya untuk terbit. Namun Jepang tak mau melakukan hal
yang sama. Dalam sistem pers ala Jepang, Jepang menuntut Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia, sehingga semua suratkabar asing diberangus.[2]
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku
4 macam sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lain,
sehingga dikenal juga 3 macam sistem pers. Ketiga macam sistem itu adalah
Sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan
Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), dan Sistem Pers Pancasila (1966-1999).serta sistem pers
dewasa ini, sebagai buah reformasi yang menjurus kepada liberalisasi di bidang
politik dan ekonomi.
·
Sistem
Pers Merdeka (1945-1949)
Sitem pers Indonesia diawali pada Oktober 1945, ketika
pemerintah mengumumkan kebijakannya tentang kehidupan pers yang harus merdeka,
yang kemudian diperkenalkan oleh Anwar Aarifin sebagai asas / Sistem Pers Merdeka
bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Pada dasarnya sistem ini mencerminkan suatu sistem
pers yang dianut oleh beberapa negara Barat yang bertumpu kepada paham Liberal
(Liberalisme), yang disana disebut sebagai sistem pers Libertarian. Dalam
sistem pers yang berpola Liberal itu, surat kabar pada umumnya dimiliki oleh
swasta termasuk partai politik / golongan sosial, dan sama sekali bebas dari
pengawasan pemerintah. Sistem pers ini ikut menjalankan fungsi politik terutama
sebagai alat demokrasi dengan jalan mengecek / mengontrol kebijakan pemerintah
serta menyalurkan pendapat umum dengan bebas.
Tampaknya peran serta politik rakyat yang sangat
tinggi dan kebebasan pers yang luas, telah menjadi semacam bumerang yang
mengancam persatuan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena muncul berbagai
konflik , krisis dan ketidakstabilan politik. Dan pada saat itu Indonesia
mengalami keadaan darurat perang sejak tanggal 14 Maret 1957 sampai 30 April 1963.
Dalam keadaan darurat perang tersebut, pemerintah memberikan wewenang kepada
militer untuk mengawasi kehidupan politik dan mengontrol pers demi ketertiban
dan keamanan.
Dalam masa tesebut sejumlah surat kabar dan majalah mendapat
tindakan keras, bahkan beberapa diantaranya dilarang terbit (dibredel). Tanggal
1 Oktober 1957, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mewajibkan semua
penerbitan pers dalam wilayah Jakarta Raya memiliki izin terbit. Dengan adanya
pembredelan besar – besaran oleh penguasa militer, terutama dengan adanya
kewajiban memperoleh izin terbit bagi pers di Indonesia, Siste Pers Merdeka
sejak awal revolusi, sudah berakhir. Insan pers menyebut bahwa tanggal 1
Oktober 1957 merupakan hari matinya kebebasan pers di
tanah air.
·
Sistem
Pers Terpimpin (1959-1966)
Menurut Feith (1988), Sistem Demokrasi terpimpin itu
pada awalnya mendapat dukungan sebagai usaha rekonstruksi politik untuk
mengatasi pertentangan yang lebih banyak bersifat ideologis, sebagai akibat
menyebarnya kekuatan kerakyatan itu ke dalam estatisme dan sentrifugalisme.
Usaha pertama ialah melarang kelompok – kelompok politik kerakyatan, termasuk membubarkan
Masyumi dan partai Sosialis Indonesia tahun 1960, yang menentang sistem poitik
ini.
Dalam Sistem Pers Terpimpin, posisi dan peranan pers
digariskan secara tajam dalam rangka kehidupan sosial politik. Dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (No. II/MPRS/1960) dijelaskan bahwa
pers sebagai alat revolusi berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media
penggerak rakyat dan masa revolusioner . Pemerintah diwajibkan membina dan
mengembangkan pers agar dapat menjadi alat revolusi dengan tenaga – tenaga inti
revolusioner dan masa yang bersifat kolektif.
Terdapat beberapa pertauran yang menjelaskan tentang
peranan pers, salah satunya adalah Keputusan Menteri Penerangan (No.
29/SK/M/1965) mengenai Norma – norma Pokok Pengusahaan Pers dalam Rangka
Pembinaan Pers Indonesia. keputusan itu antara lain mewajibkan smua surat kabar
berafiliasi / mempunyai gandulan kepada salah satu kekuatan sosial politik.
Dengan peraturan tersebut, terdapat 80 surat kabar dan majalah yang bernaung di
bawah 9 partai politik dan organisasi massa. Dalam Sistem Pers Terpimpin, pers
betul – betul diharuskan tunduk di bawah kekuasaan dan betul – betul menjadi
alat dari kekuasaan. Pers harus melayani kepentingan politik penguasa demi
persatuan nasional. Pers yang tidak bersedia mengikuti pola tersebut, dengan
sendirinya tidak akan memiliki izin terbit.
Sistem Pers Terpimpin akhirnya runtuh juga, sejalan
dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno. Sistem Pers Terpimpin yang dahulunya
dibangun di atas kegagalan Sistem Demokrasi Liberal, juga mengalami nasib yang
sama. Sistem Pers Terpimpin yng berpola otoriter itu, ternyata juga tidak mampu
menghilangkan konflik politik, malah sebaliknya semakin parah.
Akhirnya sistem Pers Terpimpin itu mengalami
keruntuhan akibat Gerakan 30 September / PKI pada tahun 1965. Sistem itu secara
resmi dianggap berakhir pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan
surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan akibat
G 30 S PKI. Pada saat itu terjadi lagi pembredelan surat kabar dan majalah yang
beraliran komunis dan prokomunis. Masa itulah yang kemudian disebut sebagai
awal suatu periode yang dinamakan Orde Baru (Orba). Sesuai dengan nama sistem
politik yang dibagun oleh Orba, yaitu Sistem Demokrasi Pancasila, maka sistem
pers yang dikembangkan dinamakan dengan Sistem Pers Pancasila.
·
Sistem Pers
Pancasila
Pada masa paling dini Orde Baru tersebut, Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 Desember 1966 telah berhasil
mewujudkan janji konstitusional pasal 28 UUD 1945, dengan disahkannya UU No. 11
tahun 1966 yang kemudian menjadi dasar Sistem Pers Pancasila. Berdasarkan
sistem tersebut, pers Indonesia dikembangkan dalam kerangka konsepsional yang
disebut pers bebas dan bertanggungjawab. Hal tersebut berarti kebebasan pers di
Indonesia dibatasi oleh tanggungjawab, terutama dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan kewajiban yang digariskan baik dalam Garis – garis Besar Haluan
Negara (GBHN) maupun dalam UU pers. Sesuai dengan sistem Demokrasi pancasila
yang dibangun, maka dalam perkembangan selanjutnya pers Indonesia pun kemudian
dikenal sebagai Sistem Pers Pancasila, untuk membedakan dengan sistem pers
sebelumnya.
Lahirnya Orde Baru dan disahkannya UU Pers (Nomor
11/1966) dapat dipandang sebagai permulaan de baru bagi pembinaan pers
Indonesia terutama dari segi idiil dan konsepsional. Hal itu telah menjadi
dasar yang kokoh dalam menuju Pers Pancasila dan pers yang bebas dan
bertanggung jawab yang dikenal kemudian. Sistem Pers Pamcasila itu berkembang
sejalan dengan berkembangnya Sistem Demokrasi Pancasila, yang dibangun di atas
reruntuhan 2 sistem sebelumnya.
Dalam upaya memantapkan ideologi Pancasila, Pers Pancasila perlu
dikembangkan dan diaktualisasikan untuk memantapkan jati diri bangsa diantara
bangsa – bangsa yang ada di dunia. Pers Pancasila memiliki karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan karakteristik pers di negaa- negara Liberal dan
komunis.
Sistem Pers Pancasila memiliki jatidiri dengan adanya
prinsip dasar yaitu :
o Bebas dan bertanggung jawab
o Interaksi positif antara pers dengan pemerintah dan
masyarakat.
konsep interaksi positif pers,
pemerintah dan masyarakat yang ditetapkan oleh Dewan Pers di Solo (1977) antara
lain menegaskan bahwa interaksi ketiga komponen itu tidak bisa lain, harus
berlangsung dalam perangkat dan pranata Pancasila sebagai norma dan etika dasar
bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. demikian pula dijelaskan bahwa
interaksi ketiga komponen itu pada hakikatnya berlatarbelakang pada pandangan
dan kenyataan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila , mengembangkan
paham kekeluargaan dan kolektivisme yang dikombinasikan dengan individualisme.
Pola
interaksi tersebut dikembangkan sesuai dengan semangat zaman baru yaitu dari
hubungan mitra secara struktural menjadi hubungan mitra secara fungsional yaitu
secara bersama – sama menegakkan keadilan dan kebenaran serta bersama – sama
mewujudkan kesehjtraan umum dan keadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sesuai dengan posisi dan fungsinya masing – masing. Kemitraan secara fungsional
itu merupakan bentuk rasionalisasi dan aktualisasi Pers Pancasila dalam abad
ke-21 ini.
Prinsip dasr dan nilai dasar
tersebut merupakan jati diri dan aktualisasi Sistem Pers Pancasila yang
membedakannya dengan sistem pers di negara liberal dan komunis, serta negara –
negara lain. (Arifin, 2011:131-151)
C. Fungsi
Utama Pers
Terdapat 5 fungsi pers (Sumadiria:2004 yaitu)
1. Informasi (to inform)
Setiap informasi yang di sampaikan harus memenuhi
kriteria dasar : aktual,akurat,faktual,menarik atau penting,benar,lengkap-utuh,jelas-jernih,jujur-adil,berimbang,relevan,bermanfaat,etis.
2. Edukasi (to educated)
Apapun informasi yang di sebar luaskan pers hendaknya
dalam kerangka mendidik (to educated). Inilah antara lain yang membedakan pers
sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lainnya.
3. Koreksi (to influence)
Pers adalah pilar demokrasi ke empat setelah
legislatif,eksekutif,dan yudikatif. Dalam kerangka ini, pers dimaksudkan untuk
mengawasi dan mengontrol kekuasaan legislatif,eksekutif,dan yudikatif agas
kekuasaan mereka tidak korup dan absolut.
Dalam negara-negara yang menganut paham demokrasi pers
mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan
senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidak adilan
dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol social yang di
milikinya itu,
4. Rekreasi (to entertaint)
Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana
rekreasi/hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi masyarakat.
Artinya apapun peran rekreatif yang di sajikan mulai
dari cerita yang bersifat negatif apalagi destruktif,pers harus menjadi sahabat
setia pembaca yang menyenangkan.
5. Mediasi (to mediated)
Mediasi artinya penghubung. Bisa juga di sebut sebagai
fasilitator atau mediator.
Dengan fungsi mediasi,pers mampu menghubungkan tempat
yang satu ke tempat yang lain,peristiwa yang satu ke peristiwa yang lainatau
orang yang satu ke orang yang lain pada saat yang sama.
D.
Karakteristik Pers
Menurut Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (2004),
terdapat 5 karakteristik pers. Kelimanya adalah :
1. Periodesitas.
Artinya pers harus terbit secara
teratur,periodik,misalnya setiap hari,dua minggu sekali, atau satu bulan
sekali. Pers yang tidak terbit secara periodik, biasanya sedang menghadapi
masalah manajemen, seperti konflik internal, krisis finansial / kehabisan
modal.
2. Publisitas
Publisitas, berarti pers ditujukan kepada khalayak
sasaran umum yang sangat heterogen. Karena ditujukan kepada khalayak yang
heterogen seperti itu, maka dalam mengemas setiap pesannya, pers harus
menggunakan dan tunduk kepada kaidah bahasa jurnalistik.
3. Aktualitas
Aktualitas berarti informasi apapun yang disuguhkan
media pers haru mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang sudah
tercantum / terjadwal dalam kalender, naik kalender unun masehi yang memuat
penanggalan dari 1 Januari sampai tanggal 31 Desember, maupun kalender khusus
seperti kalender akademik, kalender
pemerintahan, kalender sosial budaya dan pariwisata.
4. Universalitas.
Universalitas berkaitan dengan kesemestaan dan dari
keanekaragaman materi isnya. dilihat dari materi isinya, sajian pers terdiri
dari 3 kelompok besar, yakni kelompok berita (news), kelompok opini (views) dan
kelompok iklan (adverstising).
5. Objektivitas
Objektivitas merupakan nilai etika dan moral yang
harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.
Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan menarik perhatian pembaca, tidak menggangu
perasaan dan pendapat mereka.
BAB III
Kesimpulan
Pers berasal dari kata pressa (bahasa
latin) / press (Inggris) yang artinya mesin ccetak. Kemudian pengertian itu
berkembang menjadi alat – alat mencetak dari suatu ide untuk disebarkan lebih
lanjut kepada masyarakat.
Pers mengandung 2 arti, arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers
hanya menunjuk kepada media cetak berkala (surat kabar, tabloid, majalah).
Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk kepada media cetak
berkala, melainkan juga mencakup media elektronik (audio dan audiovisual)
sepeti radio, televisi, film dan media online
internet. Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perkembangan pers di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pers Belanda pada zama dahulu. Awal mula pembentukan sistem pers yang diusung Belanda
adalah sebuah sistem otoritarian. Karena
secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi
ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana.
·
Pertama,
sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif,
dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah.
·
Kedua, dalam
bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem
agunan, dan lisensi atau rekomendasi.
·
Ketiga,
sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta
modal minimal pendirian sebuah perusahaan media.
·
Keempat,
sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan
sensor.
Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang tahun
1906-1942 ini terbagi ke dalam lima periode diantaranya :
·
Pertama,
periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan
penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan.
·
Kedua,
periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers
bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk
mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik.
·
Ketiga,
periode 1918-1927. Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers
pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal
seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan
berdirinya organisasi-organisai kemasyarakatan dan politik yang radikal
·
Keempat,
periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers.
·
Kelima,
periode 1931-1942. Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang
ditandai dengan pembredelan sejumlah media
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku
4 macam sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lain,
sehingga dikenal juga 3 macam sistem pers. Ketiga macam sistem itu adalah
Sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan
Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Sistem Pers Pancasila (1966-1999).serta
sistem pers dewasa ini, sebagai buah reformasi yang menjurus kepada
liberalisasi di bidang politik dan ekonomi.
Terdapat 5 fungsi pers (Sumadiria:2004 yaitu)
·
Informasi
(to inform)
·
Edukasi
(to educated)
·
Koreksi
(to influence)
·
Rekreasi
(to entertaint)
·
Mediasi
(to mediated)
Menurut
Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul Menulis
Artikel dan Tajuk Rencana (2004), terdapat 5 karakteristik pers. Kelimanya
adalah :
·
Periodesitas.
·
Publisitas
·
Aktualitas
·
Universalitas.
·
Objektivitas
Sumber Referensi
Sumadiria, Haris. 2004 Menulis Artikel dan Tajuk Rencana
Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Arifin, Anwar. 2010 Sistem Komunikasi Indonesia Bandung : Simbiosa
Rekatama Media
Referensi lain :

0 komentar:
Posting Komentar
Blog ini tidak akan sukses tanpa komentar sahabat-sahabat!