Rabu, 05 Desember 2012

Sistem Pers di Indonesia

0



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pers
Pers berasal dari kata pressa (bahasa latin) / press (Inggris) yang artinya mesin ccetak. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi alat – alat mencetak dari suatu ide untuk disebarkan lebih lanjut kepada masyarakat. kemudian pengertian itu berkembang menjadi media yang menyebarkan ide / pesan kepada masyarakat, yang dicetak dengan alat – alat percetakan sebelumnya. Media yang dimaksud adalah buku, surat kabar, majalah, buletin, borsur / pamflet yang isinya mengandung ide / pemberitahuan kepada masyarakat. (Arifin,2011:123).
Pers mengandung 2 arti, arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala (surat kabar, tabloid, majalah). Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk kepada media cetak berkala, melainkan juga mencakup media elektronik (audio dan audiovisual) sepeti radio, televisi, film dan media online internet. (Sumadiria, 2004:107)
Sedangkan menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian pers.
·       Wilbur Schramm, dan kawan - kawan dalam bukunya “Four Theories of the Press” mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
·       Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.
·       Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan belanda[1]

B.     Dinamika dan Romantika Pers Indonesia
Perkembangan pers di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan pers Belanda pada zama dahulu. Mulai dari kedatangan Belanda ke Indonesia dan memperkenalkan percetakan suratkabar, sehingga munculah penerbit-penerbit surat kabar. Hingga kebijakan-kebijakan Belanda (sebagai pemegang otoritas) terhadap kinerja dan kebebasan pers Indonesia.Selain itu, adanya penerbit-penerbit dan percetakan-percetakan yang dimiliki orang Tionghoa juga mempengaruhi perkembangan pers di Indonesia. Meskipun tidak lama.
Keadaan itu merupakan petunjuk awal munculnya unsur-unsur perubahan di Pulau Jawa. Perubahan seperti “modernitas” sistem informasi yang memengaruhi kebudayaan masyarakat. Hal itu pula berkaitan dengan perkembangan ekonomi, terutama perdagangan yang semakin memerlukan konsumen dan nasabah. Saat itu, pers memiliki multifungsi, sebagai pemberi informasi, alat propaganda pemerintah, sekaligus alat ekonomi.
Awal mula pembentukan sistem pers yang diusung Belanda adalah sebuah sistem otoritarian. Karena secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. 
·      Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. 
·      Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. 
·      Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. 
·      Keempat, sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor.
Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang tahun 1906-1942 ini terbagi ke dalam lima periode. Setiap periode menjelaskan setiap kebijakan yang dikeluarkan berikut latar belakang yang menyertai dan mendasarinya.
·      Pertama, periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan. Pemerintah kolonial juga mendukung pertumbuhan pers yang dapat memajukan penduduk pribumi.Pada masa ini setiap orang bebas menerbitkan media cetak. Surat izin bahkan dapat diurus belakangan, selambat-lambatnya 24 jam setelah terbit. Pemerintah juga memosisikan sebagai lembaga pengawas bukan lembaga sensor. Untuk mengawasi pers, gubernur jenderal memberikan penerangan dan memberikan subsidi modal.
·      Kedua, periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik. Apalagi setelah terbentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), koran-koran sangat bebas memuat perdebatan-perdebatan para politisi.
·      Ketiga, periode 1918-1927. Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan berdirinya organisasi-organisai kemasyarakatan dan politik yang radikal pula. Puncaknya adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia di sejumlah daerah yang berhasil ditumpas tentara kolonial.
Pada periode ini pemerintah kolonial mulai memberlakukan KUHP. Di dalamnya terdapat ranjau-ranjau hukum pidana pers. Yang paling seram adalah pasal 154-157 tentang delik penyebaran kebencian (haatzaai artikelen), serta pasal 207-208 tentang delik terhadap kekuasaan negara. Satu tahun kemudian, puluhan wartawan dijebloskan ke penjara, karena menulis berita yang tak sesuai dengan selera penguasa.
·      Keempat, periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers. Pemerintah tanpa melibatkan pengadilan dapat melarang sementara terbitan berkala setelah memberikan peringatan. Dalam aturan ini, gubernur jenderal bisa membredel suratkabar dengan dalih  »mengganggu ketertiban umum ». Masa pembredelan selama-lamanya delapan hari, dan jika masih bandel diperpanjang 30 hari.
·      Kelima, periode 1931-1942. Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang ditandai dengan pembredelan sejumlah media. Pada masa ini penguasa kolonial sudah berhasil menguasai kebijakan pengendalian pers secara administratif, yuridis, sosial, dan ekonomis. Kebijakan pers pemerintah kolonial berakhir setelah Jepang tiba di Indonesia pada 1942.
Pada 1942 ketika Jepang hadir, pers Indonesia mengalami perubahan sistem. Pers Indonesia menjadi jauh lebih maju ketimbang sistem pers konvensional ala Belanda. Pada zaman ini, Indonesia diajak untuk mengemban suatu pendidikan pers. Insan pers adalah insan yang terlatih. Terlatih dalam menulis berita, dan insan pers yang siap menjadi alat propaganda perang Jepang.Perubahan sistem yang mencolok adalah tidak diizinkannya suratkabar selain milik Jepang beredar. Ini menandakan keleluasaan pers semakin sempit, bahkan terhimpit. Pada zaman Belanda, Belanda membebaskan suratkabar tionghoa, dan lain sebagainya untuk terbit. Namun Jepang tak mau melakukan hal yang sama. Dalam sistem pers ala Jepang, Jepang menuntut Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia, sehingga semua suratkabar asing diberangus.[2]
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku 4 macam sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dikenal juga 3 macam sistem pers. Ketiga macam sistem itu adalah Sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Sistem Pers Pancasila (1966-1999).serta sistem pers dewasa ini, sebagai buah reformasi yang menjurus kepada liberalisasi di bidang politik dan ekonomi.
·      Sistem Pers Merdeka (1945-1949)
Sitem pers Indonesia diawali pada Oktober 1945, ketika pemerintah mengumumkan kebijakannya tentang kehidupan pers yang harus merdeka, yang kemudian diperkenalkan oleh Anwar Aarifin sebagai asas / Sistem Pers Merdeka bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Pada dasarnya sistem ini mencerminkan suatu sistem pers yang dianut oleh beberapa negara Barat yang bertumpu kepada paham Liberal (Liberalisme), yang disana disebut sebagai sistem pers Libertarian. Dalam sistem pers yang berpola Liberal itu, surat kabar pada umumnya dimiliki oleh swasta termasuk partai politik / golongan sosial, dan sama sekali bebas dari pengawasan pemerintah. Sistem pers ini ikut menjalankan fungsi politik terutama sebagai alat demokrasi dengan jalan mengecek / mengontrol kebijakan pemerintah serta menyalurkan pendapat umum dengan bebas.
Tampaknya peran serta politik rakyat yang sangat tinggi dan kebebasan pers yang luas, telah menjadi semacam bumerang yang mengancam persatuan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena muncul berbagai konflik , krisis dan ketidakstabilan politik. Dan pada saat itu Indonesia mengalami keadaan darurat perang sejak tanggal 14 Maret 1957 sampai 30 April 1963. Dalam keadaan darurat perang tersebut, pemerintah memberikan wewenang kepada militer untuk mengawasi kehidupan politik dan mengontrol pers demi ketertiban dan keamanan.
Dalam masa tesebut sejumlah surat kabar dan majalah mendapat tindakan keras, bahkan beberapa diantaranya dilarang terbit (dibredel). Tanggal 1 Oktober 1957, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mewajibkan semua penerbitan pers dalam wilayah Jakarta Raya memiliki izin terbit. Dengan adanya pembredelan besar – besaran oleh penguasa militer, terutama dengan adanya kewajiban memperoleh izin terbit bagi pers di Indonesia, Siste Pers Merdeka sejak awal revolusi, sudah berakhir. Insan pers menyebut bahwa tanggal 1 Oktober 1957 merupakan hari matinya kebebasan pers di tanah air.

·      Sistem Pers Terpimpin (1959-1966)
Menurut Feith (1988), Sistem Demokrasi terpimpin itu pada awalnya mendapat dukungan sebagai usaha rekonstruksi politik untuk mengatasi pertentangan yang lebih banyak bersifat ideologis, sebagai akibat menyebarnya kekuatan kerakyatan itu ke dalam estatisme dan sentrifugalisme. Usaha pertama ialah melarang kelompok – kelompok politik kerakyatan, termasuk membubarkan Masyumi dan partai Sosialis Indonesia tahun 1960, yang menentang sistem poitik ini.
Dalam Sistem Pers Terpimpin, posisi dan peranan pers digariskan secara tajam dalam rangka kehidupan sosial politik. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (No. II/MPRS/1960) dijelaskan bahwa pers sebagai alat revolusi berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan masa revolusioner . Pemerintah diwajibkan membina dan mengembangkan pers agar dapat menjadi alat revolusi dengan tenaga – tenaga inti revolusioner dan masa yang bersifat kolektif.
Terdapat beberapa pertauran yang menjelaskan tentang peranan pers, salah satunya adalah Keputusan Menteri Penerangan (No. 29/SK/M/1965) mengenai Norma – norma Pokok Pengusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan Pers Indonesia. keputusan itu antara lain mewajibkan smua surat kabar berafiliasi / mempunyai gandulan kepada salah satu kekuatan sosial politik. Dengan peraturan tersebut, terdapat 80 surat kabar dan majalah yang bernaung di bawah 9 partai politik dan organisasi massa. Dalam Sistem Pers Terpimpin, pers betul – betul diharuskan tunduk di bawah kekuasaan dan betul – betul menjadi alat dari kekuasaan. Pers harus melayani kepentingan politik penguasa demi persatuan nasional. Pers yang tidak bersedia mengikuti pola tersebut, dengan sendirinya tidak akan memiliki izin terbit.
Sistem Pers Terpimpin akhirnya runtuh juga, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Soekarno. Sistem Pers Terpimpin yang dahulunya dibangun di atas kegagalan Sistem Demokrasi Liberal, juga mengalami nasib yang sama. Sistem Pers Terpimpin yng berpola otoriter itu, ternyata juga tidak mampu menghilangkan konflik politik, malah sebaliknya semakin parah.
Akhirnya sistem Pers Terpimpin itu mengalami keruntuhan akibat Gerakan 30 September / PKI pada tahun 1965. Sistem itu secara resmi dianggap berakhir pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan akibat G 30 S PKI. Pada saat itu terjadi lagi pembredelan surat kabar dan majalah yang beraliran komunis dan prokomunis. Masa itulah yang kemudian disebut sebagai awal suatu periode yang dinamakan Orde Baru (Orba). Sesuai dengan nama sistem politik yang dibagun oleh Orba, yaitu Sistem Demokrasi Pancasila, maka sistem pers yang dikembangkan dinamakan dengan Sistem Pers Pancasila.
·      Sistem Pers Pancasila
Pada masa paling dini Orde Baru tersebut, Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 Desember 1966 telah berhasil mewujudkan janji konstitusional pasal 28 UUD 1945, dengan disahkannya UU No. 11 tahun 1966 yang kemudian menjadi dasar Sistem Pers Pancasila. Berdasarkan sistem tersebut, pers Indonesia dikembangkan dalam kerangka konsepsional yang disebut pers bebas dan bertanggungjawab. Hal tersebut berarti kebebasan pers di Indonesia dibatasi oleh tanggungjawab, terutama dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang digariskan baik dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) maupun dalam UU pers. Sesuai dengan sistem Demokrasi pancasila yang dibangun, maka dalam perkembangan selanjutnya pers Indonesia pun kemudian dikenal sebagai Sistem Pers Pancasila, untuk membedakan dengan sistem pers sebelumnya.
Lahirnya Orde Baru dan disahkannya UU Pers (Nomor 11/1966) dapat dipandang sebagai permulaan de baru bagi pembinaan pers Indonesia terutama dari segi idiil dan konsepsional. Hal itu telah menjadi dasar yang kokoh dalam menuju Pers Pancasila dan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang dikenal kemudian. Sistem Pers Pamcasila itu berkembang sejalan dengan berkembangnya Sistem Demokrasi Pancasila, yang dibangun di atas reruntuhan 2 sistem sebelumnya.
Dalam upaya memantapkan ideologi Pancasila, Pers Pancasila perlu dikembangkan dan diaktualisasikan untuk memantapkan jati diri bangsa diantara bangsa – bangsa yang ada di dunia. Pers Pancasila memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik pers di negaa- negara Liberal dan komunis.
Sistem Pers Pancasila memiliki jatidiri dengan adanya prinsip dasar yaitu :
o  Bebas dan bertanggung jawab
o  Interaksi positif antara pers dengan pemerintah dan masyarakat.
 konsep interaksi positif pers, pemerintah dan masyarakat yang ditetapkan oleh Dewan Pers di Solo (1977) antara lain menegaskan bahwa interaksi ketiga komponen itu tidak bisa lain, harus berlangsung dalam perangkat dan pranata Pancasila sebagai norma dan etika dasar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. demikian pula dijelaskan bahwa interaksi ketiga komponen itu pada hakikatnya berlatarbelakang pada pandangan dan kenyataan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila , mengembangkan paham kekeluargaan dan kolektivisme yang dikombinasikan dengan individualisme.
Pola interaksi tersebut dikembangkan sesuai dengan semangat zaman baru yaitu dari hubungan mitra secara struktural menjadi hubungan mitra secara fungsional yaitu secara bersama – sama menegakkan keadilan dan kebenaran serta bersama – sama mewujudkan kesehjtraan umum dan keadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan posisi dan fungsinya masing – masing. Kemitraan secara fungsional itu merupakan bentuk rasionalisasi dan aktualisasi Pers Pancasila dalam abad ke-21 ini.
Prinsip dasr dan nilai dasar tersebut merupakan jati diri dan aktualisasi Sistem Pers Pancasila yang membedakannya dengan sistem pers di negara liberal dan komunis, serta negara – negara lain. (Arifin, 2011:131-151)

C.     Fungsi Utama Pers
Terdapat 5 fungsi pers (Sumadiria:2004 yaitu)
1.      Informasi (to inform)
Setiap informasi yang di sampaikan harus memenuhi kriteria dasar : aktual,akurat,faktual,menarik atau penting,benar,lengkap-utuh,jelas-jernih,jujur-adil,berimbang,relevan,bermanfaat,etis.

2.      Edukasi (to educated)
Apapun informasi yang di sebar luaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik (to educated). Inilah antara lain yang membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lainnya.

3.      Koreksi (to influence)
Pers adalah pilar demokrasi ke empat setelah legislatif,eksekutif,dan yudikatif. Dalam kerangka ini, pers dimaksudkan untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan legislatif,eksekutif,dan yudikatif agas kekuasaan mereka tidak korup dan absolut.
Dalam negara-negara yang menganut paham demokrasi pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan fungsi kontrol social yang di milikinya itu,

4.      Rekreasi (to entertaint)
Pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi/hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi masyarakat.
Artinya apapun peran rekreatif yang di sajikan mulai dari cerita yang bersifat negatif apalagi destruktif,pers harus menjadi sahabat setia pembaca yang menyenangkan.

5.      Mediasi (to mediated)
Mediasi artinya penghubung. Bisa juga di sebut sebagai fasilitator atau mediator.
Dengan fungsi mediasi,pers mampu menghubungkan tempat yang satu ke tempat yang lain,peristiwa yang satu ke peristiwa yang lainatau orang yang satu ke orang yang lain pada saat yang sama.

D.    Karakteristik Pers
Menurut Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (2004), terdapat 5 karakteristik pers. Kelimanya adalah :
1.      Periodesitas.
Artinya pers harus terbit secara teratur,periodik,misalnya setiap hari,dua minggu sekali, atau satu bulan sekali. Pers yang tidak terbit secara periodik, biasanya sedang menghadapi masalah manajemen, seperti konflik internal, krisis finansial / kehabisan modal.

2.      Publisitas
Publisitas, berarti pers ditujukan kepada khalayak sasaran umum yang sangat heterogen. Karena ditujukan kepada khalayak yang heterogen seperti itu, maka dalam mengemas setiap pesannya, pers harus menggunakan dan tunduk kepada kaidah bahasa jurnalistik.


3.      Aktualitas
Aktualitas berarti informasi apapun yang disuguhkan media pers haru mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada peristiwa yang sudah tercantum / terjadwal dalam kalender, naik kalender unun masehi yang memuat penanggalan dari 1 Januari sampai tanggal 31 Desember, maupun kalender khusus seperti kalender akademik,  kalender pemerintahan, kalender sosial budaya dan pariwisata.

4.      Universalitas.
Universalitas berkaitan dengan kesemestaan dan dari keanekaragaman materi isnya. dilihat dari materi isinya, sajian pers terdiri dari 3 kelompok besar, yakni kelompok berita (news), kelompok opini (views) dan kelompok iklan (adverstising).

5.      Objektivitas
Objektivitas merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan  menarik perhatian pembaca, tidak menggangu perasaan dan pendapat mereka.




BAB III
Kesimpulan

Pers berasal dari kata pressa (bahasa latin) / press (Inggris) yang artinya mesin ccetak. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi alat – alat mencetak dari suatu ide untuk disebarkan lebih lanjut kepada masyarakat. Pers mengandung 2 arti, arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala (surat kabar, tabloid, majalah). Sedangkan dalam arti luas, pers bukan hanya menunjuk kepada media cetak berkala, melainkan juga mencakup media elektronik (audio dan audiovisual) sepeti radio, televisi, film dan media online internet. Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perkembangan pers di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan pers Belanda pada zama dahulu. Awal mula pembentukan sistem pers yang diusung Belanda adalah sebuah sistem otoritarian. Karena secara garis besar kebijakan  pemerintah kolonial dalam  membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. 
·      Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. 
·      Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. 
·      Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. 
·      Keempat, sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor.
Kebijakan pers yang diteliti dalam rentang tahun 1906-1942 ini terbagi ke dalam lima periode diantaranya :
·         Pertama, periode 1906-1913. Pada periode ini pers benar-benar bebas. Ini ditandai dengan penghapusan sensor preventif terhadap barang cetakan.
·         Kedua, periode 1913-1918. Masa ini adalah saat-saatnya tumbuh transparansi dan pers bebas. Penduduk pribumi benar-benar mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri yang berpengaruh pada bidang politik.
·         Ketiga, periode 1918-1927. Sebaliknya, periode ini adalah awal-awal kemunduran bagi pers pribumi. Penguasa kolonial banyak membatasi pers, khususnya pers radikal seiring dengan bangkitnya nasionalisme penduduk pribumi yang diwujudkan dengan berdirinya organisasi-organisai kemasyarakatan dan politik yang radikal
·         Keempat, periode 1927-1931. Masa ini adalah era penerapan ordonansi pemberangusan pers.
·         Kelima, periode 1931-1942. Periode ini adalah puncaknya pemberangusan pers yang ditandai dengan pembredelan sejumlah media

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, telah berlaku 4 macam sistem politik dan sistem ekonomi yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dikenal juga 3 macam sistem pers. Ketiga macam sistem itu adalah Sistem Pers Merdeka yang berkaitan dengan masa perjuangan (1945-1950) dan Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem Pers Terpimpin yang terpaut dengan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Sistem Pers Pancasila (1966-1999).serta sistem pers dewasa ini, sebagai buah reformasi yang menjurus kepada liberalisasi di bidang politik dan ekonomi.
Terdapat 5 fungsi pers (Sumadiria:2004 yaitu)
·         Informasi (to inform)
·         Edukasi (to educated)
·         Koreksi (to influence)
·         Rekreasi (to entertaint)
·         Mediasi (to mediated)
      Menurut Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul Menulis Artikel dan Tajuk Rencana (2004), terdapat 5 karakteristik pers. Kelimanya adalah :
·         Periodesitas.
·         Publisitas
·         Aktualitas
·         Universalitas.
·         Objektivitas
Sumber Referensi

Sumadiria, Haris. 2004 Menulis Artikel dan Tajuk Rencana Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Arifin, Anwar. 2010 Sistem Komunikasi Indonesia Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Referensi lain :


0 komentar:

Posting Komentar

Blog ini tidak akan sukses tanpa komentar sahabat-sahabat!