Seorang penjahat yang telah membunuh banyak
orang tertangkap dan dibawa ke hadapan seorang hakim yang jujur dan dikenal
memiliki integritas yang tinggi. Setelah mempelajari kasusnya hakim ini pun
mengambil keputusan yang tegas: menghukum mati si penjahat. Ini menimbulkan
kegembiraan masyarakat. Hakim ini pun menjadi buah bibir dan pembicaraan di
mana-mana.
Namun, selang beberapa waktu kemudian
terungkaplah sebuah fakta baru. Ternyata si hakim telah mengenal si penjahat
sejak 10 tahun yang lalu dan mereka berdua terlibat cinta segitiga. Cinta
segitiga ini dimenangkan oleh si penjahat. Dialah yang menikahi wanita pujaan
si hakim. Inilah yang membuat si hakim tetap ''hidup sendiri'' hingga sekarang.
Apa yang ada dalam pikiran Anda membaca
cerita di atas? Menurut Anda, apa yang membuat hakim itu menjatuhkan hukuman
mati? Sebuah pertimbangan hati nuranikah? Atau semata-mata pemenuhan sebuah
kepentingan?
Pertanyaan seperti inilah yang perlu kita
tanyakan kepada diri kita masing-masing setiap saat. Apalagi dalam situasi
pemilu seperti sekarang di mana setiap kandidat menyerukan masyarakat agar
mengikuti suara hati nuraninya. Tapi, masalahnya kenapa suara hati nurani itu
bisa berbeda-beda? Orang yang mendukung seorang koruptor maupun pelanggar HAM
juga berdalih mengikuti hati nurani. Bahkan, kata-kata ''mengikuti hati
nurani'' kini telah menjadi merek dagang yang bisa ditafsirkan sesuai dengan
kepentingan masing-masing
Padahal, suara hati nurani itu adalah satu.
Hati nurani bersifat universal melintasi batas suku, ras, agama, dan golongan.
Ia tidak pernah mengacu pada seseorang. Tapi, pada sejumlah karakter seperti
kebenaran, kejujuran, ketulusan, dan integritas. Hati nurani adalah kemampuan
terdalam yang dimiliki setiap orang untuk menemukan kebenaran. Hati nurani juga
adalah samudera terdalam yang melintasi kendala ruang dan waktu. Di dalam
samudera hati nurani, kita bukan lagi makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.
Di sinilah tempat kita berkomunikasi tanpa suara, tanpa sepatah kata. Kita
berbicara dalam keheningan tetapi semuanya dapat dimengerti dengan mudah. Tak
ada salah paham, tak ada perselisihan, tak ada perdebatan. Segalanya sederhana
dan indah. Percakapan terjadi melampaui batas kata-kata. Bukankah sesuatu yang
indah itu tak tak dapat dilukiskan dengan kata-kata?
Hati nurani bukanlah segumpal daging yang
berada di rongga dada kita. Ia tak dapat digambarkan karena memang bersifat
spiritual. Ia berada jauh di bawah kesadaran kita. Kita tak tahu dimana
persisnya ia berada. Kita hanya tahu ''pintu'' yang bisa digunakan untuk menuju
kesana. Pintu tersebut berada dalam otak kita. Inilah yang disebut Danar Zohar
dan Ian Marshal dengan titik Tuhan (God Spot) yang terdapat di bagian lobus
temporal di otak kita.
Penelitian Zohar dan Marshal menunjukkan
bahwa bagian ini akan bercahaya begitu kita melakukan aktivitas yang bersifat
spiritual. Inilah yang disebut sebagai spiritual quotient (SQ). Pada
saat kita beribadah, ataupun melakukan meditasi, sebenarnya kita tengah masuk
ke dalam samudera hati nurani ini. Kita menyatukan hati nurani kita bersama
hati nurani semua manusia yang ada di jagat raya. Kita memasuki samudera diri
kita yang sejati. Pada saat beribadah (bila dilakukan secara khusus) kita
sebenarnya sedang melakukan mi'raj. Ini karena kita melepaskan semua kepentingan
kita di bumi menuju samudera yang jauh tempat berkumpulnya semua nurani dengan
Diri Sejati kita.
Walaupun merupakan potensi yang dimiliki
semua orang, tak semua orang mampu menemukan hati nurani karena terhalang oleh
kepentingan. Bahkan, kalau tidak berhati-hati, bisa-bisa kita menganggap bahwa
kepentingan itulah hati nurani kita. Dunia politik adalah dunia kepentingan.
Anda tentu pernah mendengar adagium berikut: ''Tak ada sahabat sejati, tak ada
musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.'' Karena itu, demi
kepentingan kita bisa mengatakan yang salah itu benar, yang benar itu salah,
menutupi fakta, memanipulasi hasil survei, dan sebagainya.
Kepentingan bisa menjadi begitu besar bagi
mereka yang berorientasi jangka pendek. Orang-orang seperti ini memandang dunia
sebagai satu-satunya tempat memperoleh kenikmatan. Mereka bisa saja bergelar
kyai, atau ahli agama. Padahal, mereka sesungguhnya tidak yakin pada kenikmatan
yang bisa dicapai secara jangka panjang di alam yang abadi nanti. Karena itu,
mereka tidak mau melewatkan kenikmatan jangka pendek. Kalau Daniel Goleman
mengatakan bahwa kemampuan menunda kenikmatan adalah ciri orang ber-EQ tinggi,
saya ingin mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan ciri orang yang ber-SQ
tinggi.
Dengan berfungsinya hati nurani tidaklah
berarti bahwa kita tidak memiliki kepentingan sama sekali. Kita tetap memiliki
kepentingan. Bedanya, kepentingan itu kini jauh mengecil. Jauh lebih kecil dari
diri kita. Bahkan jauh lebih kecil dari hidup itu sendiri.